Minggu, 12 Februari 2017

Memaafkan Masa Lalu untuk Meraih Masa Depan





Forgiveness is a form of letting go,
but they are not the same thing.
Kalimat ini dijadikan judul bab terakhir oleh Gordon Livingston, M.D., seorang psikiater, dalam bukunya Too Soon Old, Too Late Smart. Katanya, Forgiveness adalah satu dari 30 kebenaran yang harus kita ketahui sekarang, agar kita bisa segera menyiapkan masa depan.

Sejak kemarin sore, berulang-ulang saya baca bab ini. Antara menyesal dan penasaran. Menyesal, karena sebetulnya sudah lama saya meminjam buku saku yang tampak simpel ini dari mbak Iriana. Kemarin suami mengajak mampir ke rumah mbak Iriana seusai dia mengajar. Buku ini saya bawa untuk dikembalikan, walau belum sempat dibaca. Selama menunggu suami mengajar, saya menyalin judul-judul bab agar tahu gambaran isi buku. Tiba di bab terakhir, saya terperangah. Forgiveness! Ini tema yang harus saya tuliskan untuk #1minggu1cerita. 

Sebuah naskah sedang saya siapkan untuk diunggah ke blog sebelum Minggu malam. Tetapi, magnet Gordon menarik saya. Saya harus paham sudut pandangnya, untuk menguatkan tulisan saya. Penasaran. Pengulangan membaca saya lakukan untuk mengerti apa yang dia tulis, baru kemudian memahami makna yang dia paparkan. Dan…  inilah akhirnya, saya malah menyimpan kisah-setengah-jadi saya, kemudian membuat file baru untuk menuliskan pandangan Gordon. 


Hidup dapat kita lihat sebagai deretan proses melepaskan sesuatu secara berulang-ulang, sampai pada akhirnya kita bisa membiarkan hal itu pergi sepenuhnya dari diri. Mengapa sangat sulit bagi kita untuk terbebas dari masa lalu? Karena, kenangan-kenangan kita, baik atau buruk, telah memberi kita rasa berkesinambungan dan keterkaitan dengan banyak orang yang pernah berada sesaat dalam diri kita. Padahal diri ini selalu berubah dari waktu ke waktu.

Kumpulan dari kebiasaan dan cara merespon sesuatu, yang menjadi pembentuk tampilan unik dari setiap individu, telah menghidupkan ruang dugaan respon. Hal ini penting bagi penilaian diri kita sendiri, maupun bagi orang lain yang ingin tahu tentang kita. Mengingat tindakan-tindakan di masa lalu juga dapat diibaratkan sebagai sejumlah jangkar. Dia menjanjikan kestabilan, walau seringkali pada saat yang sama menjadi penghalang kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.

Hanya sebagian kecil dari kita yang memiliki masa kecil sempurna. Sangat mudah bagi kita saat mengungkapkan jati diri bahwa trauma pada masa lalulah alasan mengapa hidup kita hari ini tidak seperti yang kita inginkan. Masalah dari orang yang hidup di masa lalu adalah bahwa dia terhalang untuk melakukan perubahan, ada kepesimisan tersebar juga di dalamnya.

Adalah benar, bahwa untuk memahami siapa diri kita tergantung pada bagaimana kita memandang sejarah dari hidup kita sendiri. Ini menjadi alasan mengapa terapi-terapi psikis yang berhasil selalu ada unsur penceritaan masa lalu. Di antara melupakan dan terjebak di masa lalu, ada sebuah ruang yang bisa kita pelajari. Tentu saja termasuk kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Integrasikan semua ini ke dalam rencana masa depan kita. Hal ini memaksa kita melalui satu tahap yang mau tak mau harus dilalui, forgiveness, proses memaafkan. Yaitu, upaya ikhlas menerima ketidaknyamanan pada sejarah hidup.

Pada umumya orang berbeda memahaminya, antara melupakan atau berdamai. Kemampuan memaafkan bukan salah satu dari dua hal ini. Forgiveness bukan sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain. Ini adalah hadiah yang kita berikan pada diri sendiri. Forgiveness ada pada irisan antara cinta kasih dan keadilan.

Untuk mengakui bahwa kita telah disakiti tetapi memilih terbebas dari kemarahan atau keinginan membalas dendam, dibutuhkan kematangan emosi dan etika tingkat tinggi. Ini adalah sebuah cara memerdekakan diri dari rasa teraniaya dan pada saat yang sama meyakinkan diri bahwa kita mampu untuk berubah. Sangat mampu. Jika kita bisa melepaskan diri dari anggapan bahwa semua ini berakar di masa lalu, kita akan leluasa bersikap terhadap masa kini dan masa depan. Tentu tak mudah. Butuh keteguhan hati dan kebulatan tekad. Dua hal ini akan mencegah gelisah dan rasa tak berdaya, penyebab ketidakbahagiaan.

Perenungan menjadi pengantar penerimaan. Bahwa memang ada peristiwa buruk dan menerimanya sebagai bagian dari sejarah hidup. Cara kita mengolah rasa dan memaknai kisah masa lalu akan menentukan bagaimana kita menghadapi masa depan. Ini tantangan. Dan, memberi harapan.

Di sekitar kita, ada berbagai cara orang menjaga harapan.

Banyak yang memilih basis religi. Bahwa, kita hidup dalam bimbingan Tuhan, dan dijanjikan kehidupan abadi yang sangat nyaman kelak. Sehingga, selalu dapat menjawab pertanyaan, “Mengapa ini terjadi pada saya?” Religiusitas juga memberi jalan untuk berdamai dengan ketidakpastian dan bahwa segala yang terjadi pada kita ada maksud dan tujuannya. Hal ini mengurangi beban untuk menjawab alasan atas terjadinya sesuatu. Karena, bukankah semua yang dari Tuhan tak bisa kita elakkan?

Bagi kelompok lain yang tidak bisa atau tidak mau melepaskan pandangan skeptis tentang jawaban sederhana bagi pertanyaan kompleks, dipersilakan memikirkan hidup dengan  ketidakpastian. 
Beberapa wujud dari kemampuan memaafkan adalah berakhirnya kegelisahan atau kesedihan. Gordon menceritakan pengalamannya kehilangan anak. Putranya wafat di usia 6 tahun saat menjalani transplantasi sumsum tulang belakang dengan sang ayah sebagai pendonor. Rasa yang pertama-tama muncul adalah tidak menerima kenyataan. Ini menjadi pengalaman memaafkan yang sulit. Memaafkan dokter yang memberi usulan tindakan, dan kepada diri sendiri yang donor sumsumnya menyebabkan kematian.

Setiap diri terbebani oleh kenangan tentang terlukai, penolakan, atau ketidakadilan. Kadang-kadang kita memelihara rasa sakit ini dengan keyakinan penuh bahwa orang atau pihak lain yang menjadi penyebabnya.

Jika setiap ketidakberuntungan dapat dibebankan kesalahannya pada orang lain, kita akan terbebas dari kesulitan menilai kontribusi kita terhadap kesulitan itu, atau sekedar menerima kenyataan bahwa hidup memang penuh luka. Dengan menempatkan pihak luar sebagai penanggungjawab masalah kita, kita kehilangan kesempatan memiliki pengetahuan memperbaiki diri. Kita menjadi tidak paham bahwa apa yang terjadi pada diri ini sebenarnya sangat terkait dengan sikap yang kita lakukan saat merespon sesuatu.

Kelalaian, penghinaan, kemarahan, dan mimpi yang tak tercapai adalah bagian dari setiap manusia. Situasi ini sangat mendukung kita untuk mengeluh dan mengingat-ingat peristiwanya terus. Jika menyalahkan pihak lain sebagai penyebab luka masa lalu, kita akan terasing dari pertanyaan mendasar tentang apa yang perlu dilakukan kita saat ini untuk memperbaiki hidup kita.

Pada banyak orang, masa lalu menjadi semacam hiburan yang tak pernah berakhir. Jika ada luka, filmnya akan terus dia putar untuk mengingatkan dirinya atas luka itu, lagi dan lagi. Termasuk di dalamnya semua penjelasan, kesengsaraan, dan dramatisasi yang menjadikan kita seperti hari ini. Andai orang lain yang terlibat dalam peristiwa itu menceritakan versi yang berbeda sekalipun, pandangan kita tetap tak akan berubah. Kita tidak bisa mengubah apa-apa yang kita anggap dulu tidak begitu. Tapi, apa gunanya memelihara rasa sakit hati dan tidak bahagia?

Menyikapi masa lalu, tak bisa mengelak dari proses memaafkan, melepaskan. Secara berkesinambungan, ini adalah aksi dari keinginan dan kepasrahan. Dan, semua tampak mustahil sampai kita telah melakukannya sendiri.



*Yang saya sajikan adalah pemikiran sang penulis buku tentang Forgiveness. Tentu tak lepas dari latar belakangnya.


2 komentar:

  1. Menyikapi masa lalu, tak bisa mengelak dari proses memaafkan, melepaskan. Secara berkesinambungan, ini adalah aksi dari keinginan dan kepasrahan. ---> suka banget sama kalimat ini, hehehe

    Memaafkan, memang tidak dapat mengubah masa lalu, tapi memaafkan dapat membukakan pintu bagi masa depan yang lebih baik.

    BalasHapus
  2. Suka banget sama tulisan dari bukunya Teh..jleb banget..
    -Tatat

    BalasHapus